Ingin Diajak Pulang Juga


12 tahun Er, sejak masa SD kita yang bagiku begitu indah untuk diingat. Tidak tahu bagimu bagaimana. Masa-masa kita yang kala itu jadi teman sebangku. Entah kenapa kini, setelah dua belas tahun, ada satu pusaran waktu yang membawaku ke memori itu lagi. Seperti film yang terputar di kepala, tapi sad ending. Andai waktu bisa diputar balik, aku ingin pinjam mesin waktu Doraemon, untuk balik ke masa itu. Apa permintaanku ini berlebihan?

Tidak terasa sudah 12 tahun ya. Dan selama itu aku masih menyesalinya, kenapa ketika kamu tanya:
"lo suka sama gue, Il?"
aku malah jawab:
"mending suka sama burung di pohon samping lapangan basket sekolah, daripada kamu"

Sungguh sebenarnya itu cuma caraku buat menutupi perasaan yang sudah disembunyikan rapat-rapat ini, tidak ada maksud lain. Nyesal bin nyesal, mungkin kalau kujawab "iya" akan beda lagi cerita kita.

Sebab aku merasa kala itu rasa kita sama,
walau awalnya kita adu mulut melulu. Tetapi semua perlakuanmu itu super baik. Ya karena memang kamu dikenal sebagai orang yang sangat friendly di kalangan kami, itu yang buat banyak orang suka kamu, bukan cuma aku. Kamu yang menguasai dua jenis olahraga: sepak bola dan basket. Kamu yang jago bermain gitar dan bernyanyi di satu waktu dalam pelajaran musik, suaramu bagus. Sudah pasti dirimu populer di kalangan kami. Dan mereka benar, mudah sekali untuk jatuh cinta denganmu. 

Kapan ya bisa dengar lagi petikan gitarmu itu?. 

Aku tidak tahu kenapa sejak kamu tanya begitu aku tidak jawab, sepertinya semuanya berubah. Kita jadi tidak sedekat dulu lagi. Yang biasanya bisa santai ngobrol bareng, bercanda bareng, bahkan sampai nyanyi bareng di kelas. Terus kamu bilang:
"nyambung aja lo" ketika aku ikut nyanyi.
"gak suka aja orang mau nyanyi juga"

Terus kita saling senyum. Momen indah, sekaligus momen bersejarah bagiku. Ya cuma jadi sejarah. 
Tak pernah ada keberanian untuk bertanya "ada apa?". Semuanya berubah begitu saja.

Yang bisa aku lakukan ya cuma iri sama mereka yang bisa bikin senyum, bisa bercanda bareng layaknya kita dulu. Kenapa kamu tidak mau tahu lebih, perihal perasaanku kala itu? Atau mungkin kamu sudah tahu, tetapi memilih untuk pura-pura tidak tahu atau tidak mau tahu?. 

Tetapi semesta berpihak padaku, naskah drama di buku pelajaran tematik itu, kedua tokohnya bisa kita perankan. Walau bukan pentas drama. Pasti ketika diledek teman sekelas muka ini sudah merah. Teman-teman SD kita, memang aneh ya? Bikin salah tingkah saja. Asal kamu tahu semestaku jadi bahagia hari itu. Duniaku seakan kembali menemukan cahayanya. Kita bisa dekat lagi. Tapi sayang, berakhirnya drama itu, berakhir pula kedekatan kita. Dan balik ke awal. Aku baru menyadari: gapapa kan tidak harus rasa bahagia, bukan?

Satu bulan peristiwa drama berlalu, kamu cepat sekali dekat sama dia. Dan sama sekali tidak mau tahu. Tega. Bahagia yang mungkin tidak ditemukan di aku, cepat sekali kamu temukan di dia. Sesungguhnya aku sangat iri. Meski ku paham kata kita itu nyatanya bukan untuk cerita ini. Kamu terlalu jauh berlari, sampai tak menyadari bahwa ada yang sudah mulai berjalan mundur, menjauhi. Jarak kita sudah terlalu jauh, Er.

Pada akhirnya ikhlas yang utama, karena yang kamu mau, itu tidak ada di aku dan tidak akan pernah ada di aku. Ternyata semua perasaan yang kukira sama, ya cuma perasaan fatamorgana yang tidak nyata. Semua harapan berlebihan itu sirna. Sudah waktunya bangun dari mimpi.

Untung ada temanmu yang menemaniku. Dia teman laki-laki terbaikku. Dia yang selalu menyapa, tidak seperti kita yang bak orang asing. 
Dia yang memberiku gelang pas duduk bareng "nih buat lo", katanya.

Tapi aku jawab tidak. Yang selalu membela, dan tidak bosan mengingatkanku kalau harus melawan kalo ditekan orang lain. Di kala banyak orang yang perkataannya membuatku minder, dan candaannya yang terlampau berlebihan (istilahnya mungkin sama seperti dibully) jangan diam saja. Keresahan itu harus dilawan, jangan cuma diam. Itu yang aku pegang sampai sekarang. Semua yang kulakukan bareng dia, tidak pernah sama seperti denganmu, Er.  

Dan akhirnya dia ajak pulang bareng, di jalan depan Perumahan Mediterenia, aku tetap jawab tidak. Menolak tawarannya lagi. Aku berdalih sudah dekat menuju kantor mamaku. Padahal sebenarnya aku tetap jawab tidak, karena yang ngajak pulang itu ya bukan kamu. Kamu yang ada di sana juga, tapi malah diam seribu bahasa.

Aku keliru, sangat keliru untuk berharap kalau kamu akan ajak aku pulang juga kala itu. Seharusnya aku sudah tahu sejak awal, bahwa kamu tidak akan pernah mengajakku pulang, Er. Kata ikhlas seharusnya sudah menjalankan tugasnya, sebagaimana mestinya. Sejak tak pernah ku temukan kata kita. Tapi tidak, tidak sama sekali. Nyatanya aku belum sepenuhnya ikhlas. Belum benar-benar ikhlas atau tidak pernah ikhlas.

Satu-satunya kekayaan yang kumiliki adalah perasaan yang tinggal sebagian itu. Masih tetap sama, bahkan masih tersimpan sangat rapi di tempatnya. Sulit rasanya, sulit untuk pindah karena tidak bisa atau lebih tepatnya mungkin belum bisa kutemukan lagi pada yang lain, kecuali kamu. Sangat sulit untuk sembuh sejak kamu tidak mengajakku pulang juga waktu itu.

Sampai kita SMA, entah itu berapa tahun lamanya. Aku yang telah berusaha keras untuk lupa dan sembuh dari segalanya. Walau seberapa banyak pun aku berusaha, ia malah menjelma ingatan yang tak ingin beranjak dari tempatnya. Berkali-kali coba pindah tapi tetap bersikeras, hati sudah terlanjur bandel cuma di kamu maunya.

Aku tahu itu sudah salah sejak awal, bahwa aku sudah tidak bisa untuk terus berharap pada orang yang tidak mau tahu apa-apa. Padahal sudah tahu jawabannya tidak. Kuingin kamu tetap di sini, tapi kamu maunya pergi. Perasaanmu bukan milik, yang tak bisa ku ganggu gugat lagi. Terlalu berusaha untuk lupa, padahal cuma tugasnya waktu menyembuhkannya. Walau itu sulit, tapi bagi Dia tidak ada yang mustahil bukan?. Kamu juga tahu itu.

Sejujurnya, kini doaku untuk meminta Tuhan membantuku, menghapusmu dari ingatan. Belum kunjung dikabulkan. Kamu masih tetap jadi tokoh utama dalam cerita, dan selamanya akan terus begitu. Tidak tergantikan. Berulang kali kucoba tetap sama: diakhiri sebelum dimulai.

Bingung hati maunya apa. Rencana semesta yang bagaimana: yang mempertemukan kita, tetapi tidak untuk di cerita yang sama. Atau semesta memang telah salah mempertemukan sebelum waktu baiknya? Atau memang kamu orang yang sulit dilupa, istimewa.

Atau memang pertanyaan yang ada di benakku, yang tak pernah berani ku akui itu. Sebuah pertanyaan: kenapa setiap ingin memulai tak pernah ada yang sungguh. Mungkin karena jawabannya cuma satu: bahwa selama ini yang ada di hati ya itu cuma kamu. Dan selama ini aku tidak pernah menemukan waktu untuk memiliki perasaan itu, seperti padamu. Makanya selalu gagal. Tak pernah kutemukan lagi rasa yang sama pada tokoh lain, seperti yang ada padamu, Er. Sesungguhnya mereka ya cuma tokoh pembantu.

Seperti lagu yang kita nyanyikan dua belas tahun lalu, "Ular Berbisa". Dalam liriknya "kasih sayangmu semu", ya cerita ini pun begitu: semu, dan tak akan pernah bertemu. 

Dengan selesainya paragraf ini aku, akan mencoba terlampau sungguh mengikhlaskanmu, Er. Aku akan coba. Cerita kita yang semu itu memang harus berakhir, pada skenario semesta yang bahkan tak bisa ku kendalikan.

Mari kita mulai lagi perjalananku. Tanpa kamu ikut. Tapi bila di kemudian hari, kalau kamu baca ini: kelak jika kamu berubah pikiran dan mau mengajakku pulang dari segala perantauan ini, rumahmu masih di sini. 

Doakan aku agar bisa sungguh mengikhlaskanmu, Er. 

Tertanda,
dariku yang ingin mengikhlaskanmu
IL
























 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Manifestasi Jadi Kontemplasi

penumpang baru

Atasan Hobi Minggat